Menggema ACAB di Jalanan Saat Aksi Demonstrasi, Ini Sejarah dan Maknanya
Table of Contents
![]() |
Tulisan ACAB mewarnai dinding pagar Mapolda DIY. |
STCPOS.ID | Di tengah gelombang demonstrasi yang kerap diwarnai bentrokan dengan aparat, teriakan dan coretan “ACAB” semakin sering muncul.
Gaung istilah ini kembali mencuat di Indonesia setelah insiden tragis di Jakarta pada 29 Agustus 2025.
Seorang pengemudi ojek daring tewas dilindas kendaraan taktis saat demonstrasi, peristiwa yang memicu kemarahan publik.
Pascaperistiwa itu, akronim ACAB semakin ramai berseliweran di jalanan hingga media sosial.
Apa sebenarnya arti ACAB dan bagaimana sejarah kemunculannya?
Menurut GQ Magazine, asal-usul pasti dari istilah ini tidak sepenuhnya jelas, namun banyak sejarawan sepakat bahwa ia muncul di Inggris pada paruh pertama abad ke-20.
Konon, frasa “All Coppers Are B*st*rds” pertama kali disingkat menjadi ACAB oleh para buruh yang mogok kerja pada 1940-an.
James Poulter dari Vice menemukan rekaman video tahun 1958 yang memperlihatkan sekelompok anak muda meneriakkan frasa tersebut di jalanan.
Namun, ACAB benar-benar mendapatkan makna modernnya pada 1970 ketika Daily Mirror menurunkan tajuk utama dengan tulisan itu.
Berita tersebut mengisahkan seorang remaja yang ditangkap polisi karena menyulam frasa itu di jaketnya, setelah menirunya dari anggota Hells Angels yang dilihatnya di jalan.
Saat diinterogasi, ia berkelit dengan mengatakan bahwa ACAB berarti “All Canadians Are Bums.”
Remaja itu hanya dikenai denda 5 pound sterling, tetapi tajuk utama itu justru membuat istilah ACAB melekat sebagai simbol generasi muda yang muak diperlakukan sewenang-wenang oleh polisi.
Titik inilah yang menandai awal dari kepanikan moral terhadap frasa tersebut—meski pada akhirnya justru mendorong ACAB masuk ke dalam kosakata gerakan punk yang sedang tumbuh.
Di dalam musik punk, ACAB menemukan “rumah spiritualnya.” Gerakan punk membawa istilah ini ke seluruh dunia, menjadikannya semboyan bagi kelompok anarkis dan antiotoritarian dari New York hingga Indonesia.
Lagu berdurasi dua menit yang penuh amarah menjadi medium utamanya. Salah satu contoh paling terkenal adalah lagu “ACAB” dari band punk London, The 4-Skins.
Selama lebih dari setengah abad sejak tajuk Daily Mirror itu, ACAB terbukti fleksibel—meski tidak selalu ke arah positif.
Istilah ini menampung beragam makna, mulai dari sekadar ekspresi perlawanan, pemikiran anarkis yang lebih kompleks, hingga ideologi skinhead yang lebih gelap.
Di Jerman, ACAB bahkan menjadi subjek perkara hukum terkait ujaran kebencian.
Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (Anti-Defamation League/ADL) kini mencatat ACAB sebagai simbol kebencian, namun menekankan bahwa maknanya perlu dipahami berdasarkan konteks, karena istilah ini pernah dipakai baik oleh kelompok rasis maupun antirasis.
Kini ACAB kembali mencapai puncak popularitas baru. Bukan hanya kalangan punk atau skinhead, melainkan juga generasi muda di media sosial.
Video dengan tagar #acab di TikTok telah ditonton lebih dari setengah miliar kali. Meski tampak muncul begitu saja,
ACAB sebenarnya sudah beberapa kali hadir dalam gerakan antipolisi di Amerika.
Pada 2018, misalnya, sebuah papan reklame di Portland, Oregon dicoret dengan grafiti yang menyoroti kekerasan polisi dan mendukung gerakan Black Lives Matter.
Pesan di papan itu berbunyi, “Portland, is your white fragility showing?” Seseorang lalu menambahkan coretan, “Yes it is. ACAB.”
Contoh grafiti tersebut mencerminkan posisi ACAB dalam gerakan protes hari ini. Di satu sisi, ia menjadi slogan mudah yang efektif sebagai penanda solidaritas antiotoritarian.
Namun di sisi lain, ia juga provokatif, menimbulkan ketegangan baru, bahkan bisa memicu lebih banyak kekerasan.
Kevin L. Clark dari Complex menilai penggunaan ACAB, terutama oleh demonstran kulit putih, sebagai bentuk solidaritas yang keliru dan berisiko memperburuk respons polisi.
Beberapa aktivis mencoba menawarkan alternatif, seperti mengartikan ACAB sebagai “All Cops Are Bad.”
Meski demikian, para anarkis tetap mempertahankan makna orisinalnya.
Menurut mereka, bukan berarti setiap polisi adalah “bajingan,” melainkan bahwa semua polisi terikat dalam sistem yang secara struktural memang menindas.
Apa pun tafsirnya, ACAB terus bergema. Baik melalui coretan punk rock maupun media sosial, penolakan terhadap penyalahgunaan wewenang kian lantang terdengar.
Istilah ini mungkin tidak seragam maknanya bagi setiap orang, namun pesan yang dikandungnya jelas: penyalahgunaan kekuasaan tidak dapat diterima.